Khitbah Fiqh Muamalah
“Khitbah”
Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah
Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : M. Husni Arafat, Lc.,M.S.i
Disusun Oleh : Kelompok 2
1.
Lia Apriliani (1213049)
2.
Anik Nisroatin (1213007)
3.
Siti Fitrotun (1213041)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
JEPARA
2015
DAFTAR ISI
Daftar Isi.........................................................................................................
Bab I: Pendahuluan......................................................................................
A.
Latar Belakang.....................................................................................
B.
Rumusan Masalah.................................................................................
C.
Tujuan
Penulisan...................................................................................
Bab II:
Pembahasan.......................................................................................
A.
Definisi
Khitbah ..................................................................................
B.
Syarat-syarat
Khitbah...........................................................................
C.
Akibat
pembatalan khitbah dan pengaruhnya......................................
D.
Khalwat................................................................................................
Bab III:
Penutup.............................................................................................
A.Kesimpulan.............................................................................................
B. Saran......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Khitbah adalah
permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari
keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula
diartikan seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang
wanita yang halal dinikahi secara syara’. Perempuan yang boleh dipinang adalah
yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan agama Islam. Dalam hal peminangan
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan salah satunya adalah pembatalan
peminangan. Membatalkan khitbah tidak menimbulkan pengaruh apapun selagi belum
terjadi akad. Terkait dengan hadiah yang diberikan saat peminangan banyak
perbedaan pendapat antara para Ulama’. Ketika peminangan pihak peminang berhak
melihat wanita terpinang untuk mengetahui ada cacat atau tidak, dilanjutkan
peninangan nya atau tidak. Tetapi dalam masa peminangan tidak boleh saling
bertemu atau berduaan kecuali dengan mahramnya. Dan menyendiri (khalwat) hanya
berdua saja itu haram hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu khitbah?
2. Bagaimana dengan pembatalan khitbah?
3. Apakah di perbolehkan melihat wanita yang di pinang?
4. Bolehkah dengan berkhalwat tanpa muhrim?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui definisi khitbah
2.
Untuk mengetahui bagaimana dengan pembatalan
khitbah
3.
Untuk mengetahui hukum melihat wanita yang di
khitbah
4.
Untuk mengetahui hukum khalwat tanpa muhrim
BAB I1
PEMBAHASAN
A.
Definisi Khitbah
Khitbah menurut etimologi peminangan
adalah meminta wanita untuk dijadikan istri. Menurut terminologi peminangan
adalah seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
istrinya, dengan cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.[1]
Khitbah adalah mengungkapkan
keinginan untuk menikah dengan seorang perempuan tertentu dan memberitahukan
keinginan tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya.[2]
Khitbah adalah permintaan seorang
laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan
bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula diartikan seorang
laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal
dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya beragam , adakalanya peminang itu
sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui
keluarganya, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk
meminta orang yang dikehendaki. [3]
Dari beberapa definisi diatas dapat
ditarik kesimpulan khitbah artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari
seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara
seseorang yang dipercayai.[4]
B.
Syarat- Syarat Khitbah
Adapun
perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Tidak dalam
pinangan orang lain.
2.
Pada waktu
dipinang tidak ada penghalang syar’I yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
3.
Permpuan itu
tidak dalam massa iddah karena talak raj’i.
Apabila
perempuan dalam massa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara
sirry (tidak terang-terangan).[5]
C.
Akibat pembatalan Khitbah dan dan pengaruhnya
Apabila pinangan laki-laki diterima
pihak perempuan, antara laki-laki dan perempuan yang bersangkutan terjadi
ikatan janji akan kawin. Masa ikatan tersebut disebut masa khitbah, atau sering
juga disebut masa pertunangan.
Meskipun islam mengajarkan bahwa memenuhi
janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan kawin ini kadang-kadang
terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut islam untuk memutuskan pertunangan. Misalnya, diketahui
adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah
pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapaainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban dan termasuk
hak khiyar.[6]
Membatalkan khitbah tidak
menimbulkan pengaruh apapun selagi belum terjadi akad.[7]
Berbeda halnya pemutusan pertunangan
tanpa alasan yang sah menurut ajaran islam, misalnya karena ingin mendapatkan
yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi moral islam, pemutusan
pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.[8]
Masalah yang sering muncul adalah
biasanya dalam masa peminangan (biasanya pada waktu meminang ) pihak laki-laki
memberikan hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar (mas kawin) telah
dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, apakah
dikembalikan kepada pihak laki-laki yang memberikan ataukah tetap menjadi hak
sepenuhnya calon istri yang urung itu?
Mahar yang telah dibayarkan dalam masa pertunangan sebelum akad nikah
dilaksanakan menjadi hak laki-laki. Jadi, harus dikembalikan kepada pihak
laki-laki kecuali apabila direlakan
sebab kewajiban suami membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan
perkawinan.[9]
Mengenai hadiah-hadiah pertunangan,
seperti tanda pengokoh (peningset atau pikukuh di jawa misalnya) sebagiah para
fuqoha berbeda pendapat.
Fuqoha mazhab Hanafi berpendapat
bahwa masing-masing pihak berhak menerima pengembalian hadiah-hadiah
pertunangan yang berasal dari masing-masing, bila hadiah itu masih ada ujudnya
pada saat pertunangan diputuskan. Hadiah-hadiah
yang telah tidak ada ujudnya lagi tidak perlu diganti dengan harganya.
Ketentuan itu berlaku, baik yang memutuskan pertunangan adalah pihak laki-laki
ataupun pihak perempuan. Alasan pendapat
ini ialah karena hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan adanya janji akan
kawin. maka, apabila janji yang dimaksudkan dibatalkan, hadiah-hadiah harus
dikembalikan pada asalnya.[10]
Fuqoha mazhab syafi’i berpendapat
bahwa pihak peminang berhak menerima kembali hadiah- hhadiah yang pernah
diberikan, berupa barang apabila masih ada ujudnya, atau ganti harganya apabila sudah tidak ada ujudnya
lagi.[11]
Fuqoha mazhab maliki memperhatikan
pihak mana yang memutuskan apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan ,
hadiah –hadiah yang pernah diterima dari pihak laki-laki harus dikembalikan,
dalam bentuk barang apabila masih ada ujudnya, atau pengganti harganya apabila
sudah rusak, hilang atau musnah. Apabila yang memutuskan adalah pihak
laki-laki, ia tidak berhak atas pengembalian hadiah yang pernah diberikan
kepada pihak perempuan, meskipun ujud barangnya masih ada pada waktu memutuskan
pertunangan terjadi. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibenarkan
apabila ada syarat lain antara dua pihak, atau apabila ‘urf (adat
kebiasaan ) tempat pihak-pihak bersangkutan menenntukan lain.[12]
D.
Melihat
Pinangan
Syariat islam memperbolehkan seorang
laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan
disunnahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari
sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman.[13]
Syariat islam juga memperbolehkan wanita
terpinang melihat laki-laki terpinang sebagaimana laki-laki peminang
melihatnya, agar semakin jelaskedudukannya sebelum masuk pada akad nikah. Hukum
kebolehannya dianalogikan dengan peminang yang memiliki alasan (illat) yang
sama.[14]
Mengenai anggota tubuh terpinang yang boleh di lihat, para ulama’ berbeda
pendapat, yaitu:
1.
Mayoritas fuqoha’
seperti Imam Malik Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah
wajah dan kedua telapak tangan.
2.
Ulama’ Hanbali
berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang
sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada
umumnya disaat bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher,
kepala, kedua rumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh
yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya.
3.
Ulama’
Hanafiyah dan Hanabilah yang mahsyur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh
yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua
kaki, tidak lebih dari itu.
4.
Dawud
Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang
yang diinginkan.[15]
E.
Berkhalwat
(Menyendiri) dengan Tunangan
Menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan muhrimnya. Agama tidak
memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat. Hal ini karena
menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan
tetapi, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya
perbuatan-perbuatan maksiat, Maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW
bersabda:
لايخلون رجل بامراة لاتحل له فان ثالتهما الشيطان الا لمحرم (رواه
احمد).
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan
perempuan yang tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan”.[16]
Larangan berkhalwat berlaku juga terhadap
laki-laki dan perempuan setelah mengadakan ikatan khitbah (dalam masa
pertunangan) sebab ikatan pertunangan baru merupakan janji akan kawin, belum
merupakan ikatan perkawinan yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri.[17]
Oleh karena itu, peminang tidak boleh bersunyian empat mata dengan wanita
terpinang, tidak boleh pergi bersama, keluar untuk rekreasi,dan lain-lain
kecuali disertai dengan mahram (saudara).[18]
Daftar Pustaka
[1] Abdul
Rahman Ghozali,Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana,2010), hlm.73
[2] Wahbah
az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, trj. Abdul Hayyie al-
Kattani , (Jakarta: Gema Insani,2011), cet. 1. Hlm.20-21
[3] Abdul
AzizMuhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat, trj.
Abdul Majid khon, (Jakarta: Amzah, 2014), cet. 3. hlm. 8
[4] Sulaiman
Rasid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,1994), cet.2, hlm. 380
[5] Abdul
Rahaman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 74.
[6] Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2010), cet.
12, hlm. 24
[7] Wahbah
Az Zuhaili, Op cit.,hlm. 36
[8] Ahmad
Azhar Basyir, Op cit, hlm.24
[10] Ahmad
Azhar Basyir, Op cit, hlm.24
[11] Ahmad
Azhar Basyir, Op cit, hlm.24
[12] Ahmad
Azhar Basyir, Op cit, hlm.25
[13] Abdu
aziz h 10
[14] Abdul
azuz h.14-15
[15] Abdul
aziz h. 11-13
[16] Ibid.,
hlm. 83-83
[17] Ahmad
Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta:
UII Press,2010), cet. 12., hal. 23
[18] Abdu
aziz. Hal 16.
Posting Komentar