Manusia menurut Ibnu Khaldun

                                      Pengertian Manusia Menurut Ibnu Khaldun


              Islam menerangkan manusia dijadikan khalifah di muka bumi ini, disertai makhluk lain yang tunduk pada manusia. Dalam Al-Qur'an, dit
erangkan bahwa setelah menciptakan manusia pertama Adam, Allah SWT mengajarkan kepadanya nama-nama segala benda. Setiap objek dalam ciptaan menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Tuhan.
         Kata "manusia" dalam bahasa Arab disebut dengan al-basyar, al-insan dan al-ins. Meskipun jika dipahami lebih dalam terdapat perbedaan makna dan penggunaan.
          Pada pembahasan kali ini, pengertian manusia di fokuskan pada al-insan. manusia dalam pengertian "al-insan" adakah makhluk ciptaan Allah yang memiliki kemampuan berfikir, pandai berbicara dan memiliki ilmu dan cara penerapanya dalam menghadapi ujian untuk memilih antara yang baik dan yang buruk.
          Sedangkan hakekat mengandung pengertian sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Menurut Hadari Nawawi hakekat manusia adalah kondisi sebenarnya atau intisari yang mendasar tentang keberadaan makhluk yang berasal dari keturunan Adam dan Hawa, sebagai penghuni bumi.
           Manusia perlu mengenal dan memahami hakekat dirinya agar mampu mewujudkan eksistensinya. Al-Qur'an menunjukkan gagasan ini dalam beberapa ayat. pengenalan dan pemahaman ini akan mengantarkan manusia pada kesediaan mencari makna dan arti kehidupansehingga hidupnya tidak sia-sia. Menjalankan hak dan kewajibanya sebagai hamba Allah dan sebagai kholifat Allah fi al-Ar'dli.
          Manusia disebut dengan istilah yang bermacam-macam seperti "Homo Sapiens", artinya makhluk yang mempunyai akal. "Animale Rasional" yaitu binatang yang berfikir. Revesz menyebut manusia "Homo Loquen" yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa, menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata tersusun. Bergson menyebut manusia sebagai "Homo Faber" yaitu mahkluk yang pandai membuat alat perkakas. Aristoteles sendiri mengatakan manusia "Zoon Politicon" atau "Animal Ridens" , makhluk yang bisa humor. "Homo Economicus" yaitu manusia itu adalah makhluk pada undang-undang ekonomi dan dia bersifat ekonomis, "Homo Religious" yatitu manusia pada dasarnya beragama.
             Penjelasan Murtadha Muthahari manusia adalah makhluk paradoks. Pada dirinya terdapat sifat-sifat baik dan jahat sekaligus, tetapi sifat-sifat itu hanyalah hal-hal yang potensial. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menakhlukkan alam. Namun bisa juga mereka merosot menjadi yang lebih rendah dari segala yang rendah. Oleh karena itulah manusia sendirilah yang harus menentukan sikap dan nasib akhir mereka. Dalam Al-Qur'an manusia berulangkali diangkat derajatnya dan berulangkali direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam, surga, bumi, bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak berarti dibandingkan dengan syetan yang terkutuk dan binatang jahanam sekalipun.
           Ibnu Khaldun ketika berbicara tentang hakekat manusia tidak terlalu menekankan segi kepribadian. Ia lebih banyak berbicara tentang hakekat proses dan interaksi antar manusia. Sebagian besar dalam bentuk kelompok serta implikasi dari interaksi-interaksi itu. Dalam konteks ini ia sering disebut sebagai seorang pendiri sosiologis-antropologis. Asumsi-asumsinya mengenai manusia diperoleh dari derivikasi ajaran-ajaran Islam, baik Al-Qur'an maupun Hadits melalui gejala dan aktivitas manusia.
           Islam berpandangan bahwa manusia merupakan pertalian antara badan dan ruh. Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia, dan inilah yang membedakan manusia dengan hewan, karena Tuhan tidak meniupkan ruh pada hewan. Maka hakekat pada manusia adalah ruh. Sedangkan jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh yang primer, karena ruh tanpa jasad yang material tidak dinamakan manusia begitu juga sebaliknya.             
            Menurut Ibnu Khaldun, manusia terdiri dari dwi matra, yaitu jasmani dan rohani. Matra pertama, manusia berserikat dengan binatang. Sedangkan matra kedua, manusia berserikat dengan malaikat. Dalam kehidupanya, manusia berhubungan dengan realitas-realitas atas dan bawah. Melalui realitas bawah, jiwa manusia berhubungan dengan raga, dan lewat raga berhubungan dengan dunia fisik. Sedangkan secara realitas atas,jiwa manusia berhubungan dengan ruhaniyah.
            Jiwa, dalam pandanganya berfungsi sebagai alat untuk mempersiapkan perubahan atau pertukaran sifat kemanusiaan untuk menjadi sifat kemalaikatan. Dengan demikian walaupun sesaat, melalui jiwa manusia bisa menjadi makhluk malaikat. Proses dan keadaan menjadi malaikat ini, oleh Ibnu Khaldun dinamakan "pengalaman transendental manusia". Dalam proses itu, yang mengalami itu adalah jiwa manusia yang memiliki persiapan untuk lepas dari kemanusiaanya ke alam malaikat agar benar-benar menjadi bagian dari malaikat pada satu waktu, dan pada saat yang sama kemanusiaanya pun kembali lagi. Ini, biasanya dialami oleh nabi, dimana mereka memiliki predisposisi ini, seakan-akan menjadi sifat alami bagi mereka.
            Roh manusia tidak dapat dilihat, tetapi bekas-bekasnya bisa dilihat pada tubuh. Ataupun bagian-bagian dari tubuh manusia yang digerakkan oleh roh. Kekuatan roh tersebut antara lain: Pertama , gerak (al-failiyah), seperti memukul dengan tangan, berjalan dengan kaki, berbicara dengan mulut, dan gerak tubuh lainya. Kedua, pengertian (al-mudrikah), meliputi berbagai kecakapan yang meningkat hingga pada tingkatan yang paling tinggi, yakni pemikiran (al-mufakkiroh).
            Ibnu Khaldun juga memandang manusia dalam segi fitrahnya. Menurut teori fitrahnya , manusia lahir membawa bakat-bakat (potensi dasar). Manusia secara fitrah adalah baik, interaktif, dan berakidah Tauhid. Namun dia juga berpendapat bahwa manusia diberi kecenderungan pada kebaikan dan kejelekan. Allah SWT telah meletakkan baik dan buruk ke dalam tabiat manusia.
           Menurut Ibnu Khaldun, pada dasarnya manusia lebih cenderung kepada sifat-sifat yang baik dari pada sifat kejahatan, sebab kejahatan yang ada di dalam dirinya merupakan akibat dari adanya kekuatan - kekuatan kebinatanganya (animal power) dalam diri manusia, dan karena dia sebagai manusia, dia lebih cenderung kepada kebajikan dan sifat-sifat yang baik.
             Manusia juga fitrah, artinya ia dalam keadaan bersih dan tidak ternoda oleh pengaruh-pengaruh yang datang kemudian, yang akan menetukan seseorang dalam mengemban amanat sebagai Khalifah-Nya, siap menerima kebajikan maupun kejahatan yang datang dan melekat padanya.
            Agama menurut Ibnu Khaldun mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial, yaitu sebagai kekuatan penekan, penyatu, dan pengutuh masyarakat. Manusia juga diberi fitrah-fitrah lain. Seperti kecenderungan untuk bekerjasama, yang merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kelangsungan hidupnya. Dan hal tersebut tidak bisa dilakukan secara individual , melainkan secara bersama-sama.





Daftar Bacaan:
R.A.H. Soenarjo dkk.,al-Qur'an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra, Semarang, 1989.
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam,(pen. Sori Siregar), Pustaka Firdaus, Jakarta.
Aisyah Bintu Syathi, Manusia Dalam Perspektif al-Qur'an, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Hadari Nawawi, Hakekat Manusia Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1992.
Syahid Mu'ammar Pulungan, Manusia Dalam al-Qur'an,Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
Murtadha Muthahari, Perspektif  al-Qur'an tentang Manusia dan Agama,Mizan, Bandung.
Fachry Ali, Realitas Manusia, : Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun, (dalam M. Dawam Raharjo, Insan Kamil : Konsepsi Manusia Menurut Islam), Grafiti Pers, Jakarta 1987.  
Ibnu Khaldun, Muqaddimah , (terj. Ahmadie Thaha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.
Lihat Imam Abu Husain Muslim Ibnu Hajjaj,
Shahih Muslim, Juz IV, Darul al-Khutub, Beirut, t.th.
Syamsu, Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam. 2002. 
Shima Edisi XIII, Agustus 2014.  

Posting Komentar

 
Top