Makalah Sejarah Peradilan Islam Masa kolonial Belanda



 SEJARAH PERADILAN ISLAM DI INDONESIA
 MASA KOLONIAL BELANDA
Makalah
                        Disusun Sebagai Tugas Pribadi oleh Dosen Pembimbing Mata Kuliah SejarahPeradilan Islam
WAHIDULLAH, S.H.I., M.H.

Disusunoleh:
Lia Apriliani       (1213049)








 


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA(UNISNU)
JEPARA 2015


 
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidahnya Kami diberikan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah ini. Shalawat beserta salam senantisa tercurah kepada Nabi Muhammad saw beserta para keluarga dan sohabatnya. Aamiin.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Individu mata kuliah Sejarah Peradilan Islam semester gasal, fakultas Syariah dan Hukum prodi Al-Ahwal Al-Syahsiyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara
Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila tanpa semangat, dukungan, dari pemakalah dan seluruh elemen yang membantu dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, Kami mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Wahidullah, S.H.I., M.H. selaku dosen mata kuliah Sosiologi Hukum atas arahan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini.
2.    Kedua orang tua kami atas doa serta dukungan moril maupun materiil yang telah diberikan selama ini.
3.    Sahabat-sahabati atas kerjasamanya dalam menyusun makalah ini.
Semoga Allah SWT. Membalas dengan balasan yang setimpal. Saran dan kritik yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan substansi makalah ini.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb.
Jepara, 06 Januari 2015







BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dari waktu  ke waktu lembaga peradilan indonesia mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman itu sendiri, baik dalam kelembagaannya maupun dalam sistem penegakan hukumnya, yang dalam kurun waktu tertentu di tandai dengan ciri-ciri tertentu pula. Hal ini dilakukan dalam upaya mencari dan menerapkan sistym yang cocok untuk bangsa Indonesia. Proses mencari bentuk yang tepat ini menurut satjipto Raharjo harus melalui proses panjang karna menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui  berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri. Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.
Peradilan yang telah lama ini mengakibatkan banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya sederhana lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga dalam makalah ini kami akan membahas tentang peradilan islam pada saat belanda.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1.      Bagaimana peradilan islam pra hindia belanda.
2.      Apa yang terjadi pada perkembangan sejarah lembaga peradilan di indonesia era Kolonial sampai di proklamirkan kemerdekaan.
3.      Bagaimana hukum islam pada masa penjajahan belanda.

C.     TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas Maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Bagaimana peradilan islam pra hindia belanda.
2.      Untuk mengetahui Apa yang terjadi pada perkembangan sejarah lembaga peradilan di indonesia era Kolonial sampai di proklamirkan kemerdekaan.
3.      Untuk mengetahui hukum islam pada masa penjajahan belanda.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEJARAH PERADILAN AGAMA PADA MASA KOLONIAL

1.      Pra Pemerintahan Hindia Belanda
Pada prapemerintahan hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode.
Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat, misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama islam dimana mereka yang dapat bertindak sebagai qadhi dapat menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi brtindak sebagai hakim.
Ketiga, dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain.
Periode thauliyah dapat di identifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu penyerahan kekuasaan (wewenang) mengadili, kepada suatu bahan judicative, tetapi tidak mutlak. Seperti di Minangkabau ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi dalam masalah keagamaan. Kenyataan periodesasi ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan islam untuk daerah Cirebon, semarang, bone, dan gowa (makassar) serta papakem Cirebon.[1]
.kemudian, pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarkan intruksi agar di daerah yang di kuasai konpeni (VOC) harus diberlakukan Hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Intruksi tersebut tidak dapat dilksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Berlakunya Hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der idndische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam, atau compendium Freijer; untuk dipergunakan pada pengadilan VOC.[2]
2.      Lembaga Peradilan Islam Pada Masa Kolonial Belanda
Peradilan agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri, telah melaksanakan hukum islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya.
Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem keNegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan keputusan Raja Belanda (Konninkklijk Besluit), yakni raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 24 yang di muat dalam staatsblad 1882 No. 152. Dimana di tetapkan suatu peraturan tentang peradilan Agama dengan nama “piesteraden” untuk Jawa dan Madura. Badan peradilan ini yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan terahir dengan pengadilan Agama. Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan mulai berlaku 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran badan peradilan Agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.[3]
Pada tahun 1854 pemerintah belanda mengeluarkan pernyataan politik yang di tuangkan dalam “Reglement op het beleid der rengeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi Regeering Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat didalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No, 2. Dalam pasal 75, 78, dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855: 2 ditegaskan berlakunya undang-undang  (Hukum) Islam bagi orang Islam di Indonesia.
Tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah Salomon Keyzer, LWC. Van den berg dan C. Frederik Winter., LWC. Van den berg mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam sebab ia telah memeluk Agama Islam, walaupun dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan. pendapat atau teori ini disebut Receotio in complexu.[4]
3.      Lembaga peradilan Islam Pada Masa Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang ini Lembaga Peradilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan yang dilakukan terhadap lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau merubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Meninjau secara ringkas tentang keadaan Peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di bagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah daerah  Angkatan Darat yang berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkata Laut yang berpusat di Makasar.[5]
Pada masa pendudukan Jepang ini, kedudukan Pengadilan Agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud  Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas Masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan Agama  dalam Negara Indonesia kelak. Pada tanngal 14 April 1945 dewan memberikan jawaban sebagai berikut: “11 (F) urusan Pengadilan Agama.
Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan Peradilan Agama sebagai Pengadilan Istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli Agama”.
Dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan dewan Pertimbangan Agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
Dari uraian bab ini dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya Stbl. 1937 No. 116 tentang perubahan dan penambahan Staatsblad 1882 No. 152 tentang wewenang peradilan Agama di Jawa dan Madura. Kompetensi Peradilan Agama menjadi sempit yakni hanya dalam bidang-bidang tertentu saja. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, Kedudukan Peradilan Agama pernah terancam dengan konsep dimana akan diserahkannya tugas peradilan Agama pada pengadilan biasa. Tetapi syukur aturan itu didahului oleh proklamasi Kemerdekaan. Ini yang disebut dengan mati sebelum lahir.[6]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Peradilan agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri, telah melaksanakan hukum islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya.
Pada prapemerintahan hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode.
Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat, misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama islam dimana mereka yang dapat bertindak sebagai qadhi dapat menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi brtindak sebagai hakim.
Ketiga, dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain.
Meninjau secara ringkas tentang keadaan Peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di bagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah daerah  Angkatan Darat yang berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkata Laut yang berpusat di Makasar.[7]
Dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan dewan Pertimbangan Agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Ed. Revisi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. 1.,
Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet I.
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet I.










1 Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Ed. Revisi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. 1., hlm. 39.
[2]Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet I. Hal. 25-26.
[3] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet I. Hal 47-48.
[4]opcit, hal. 26-27.
[5]Ibid, hal. 30.
[6]A. Basiq Djalil, Opcit, hal. 59.
[7]Ibid, hal. 30.

Posting Komentar

 
Top